Tentang Rohingya di Lhokseumawe, UNHCR : Mereka Bukan Kriminal

LHOKSEUMAWE, ANTEROACEH.com - United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) menggelar pertemuan dengan sejumlah awak media di Hotel Rajawali, Lhokseumawe, Kamis (10/12/2020).
Pada acara media briefing tersebut banyak dibahas aksi lembaga PBB yang mengurus pengungsi dunia termasuk tentang seputar isu etnis Rohingya yang terpaksa meninggalkan Myanmar akibat konflik.
Public Information Officer UNHCR Indonesia, Mitra Suryono dalam paparannya menjelaskan, Indonesia tidak masuk dalam negara yang meratifikasi konvensi pengungsi 1951 dan protokol 1967, namun sejarah mencatat Indonesia tidak pernah menolak kehadiran pengungsi luar negeri.
“Selama puluhan tahun Indonesia telah memberi contoh baik bagi negara lain di Asia Tenggara, dengan menjalankan tradisi kemanusiaan menerima pengungsi asing. kami juga berterima kasih Pemko Lhokseumawe telah memberikan naungan bagi etnis Rohingya,” ungkapnya.
Menurut Mitra, Peraturan Presiden nomor 125 tahun 2016 adalah kerangka hukum nasional mengatur penanganan pengungsi dan acuan utama dalam penangan pengungsi di Indonesia.
Dalam peraturan tersebut, UNHCR dimandatkan untuk melindungi pengungsi, termasuk mendaftarkan pengungsi, melakukan proses penentuan status pengungsi dan mencari solusi jangka panjang bagi mereka.
Rohingya di Lhokseumawe
Saat ini ada lebih kurang 360 etnis Rohingya ditampung di shelter sementara BLK Kandang, Lhokseumawe. Banyak diantara mereka memiliki kerabat seperti di Malaysia, oleh sebab itu, banyak yang berusaha kabur dari BLK , karena tujuan mereka bukan Indonesia , melainkan negara jiran tersebut.
Berdasarkan cerita pengungsi, alasan meninggalkan Bangladesh dengan kapal adalah karena mereka ingin kembali bersatu dengan orang – orang yang mereka kasihi. Hal ini mungkin menjadi salah satu alasan dibalik keputusan untuk melanjutkan perjalanan mereka.
“Itu alasan mereka kabur dari kamp, ingin hidup bersama kerabatnya yang sudah bertahun-tahun di Malaysia dan tidak pernah berjumpa . ada anak-anak yang ingin berjumpa dengan ibu atau ayahnya. Istri dengan suami atau sebaliknya,” ungkap Mitra.
Namun disisi lain, UNHCR memiliki kekhawatiran resiko penyelundupan perdagangan manusia terhadap etnis minoritas di Myanmar tersebut.
Karena masih ada banyak anak – anak, wanita dan pria rentan yang tetap menempuh jalur perjalanan riskan di kawasan ini, hjal itu menandakan besarnya keputus-asaan yang dialami pengungsi Rohingya.
Ia menjelaskan, pengungsi Rohingya adalah kelompok orang yang mengalami penganiayaan terberat diseluruh dunia. Mereka tidak memiliki kewarganegaraan. Sejak awal tahun 1990an, lebih dari satu juta pengungsi Rohingya meninggalkan Myanmar untuk melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan.
Bahkan setelah mereka mencapai negara yang aman seperti Bangladesh, mereka masih harus menghadapi berbagai permasalahan seperti kurangnya akses untuk pelayanan mendasar seperti pendidikan dan kesempatan bekerja.
“Sayangnya, karena status ‘Stateless’ mereka, mereka tidak memiliki dokumen perjalanan yang absah seperti paspor, dan karenanya satu – satunya cara mereka dapat berpergian adalah melalui cara – cara tidak biasa seperti yang ditawarkan orang – orang seperti penyelundup manusia,” jelasnya.
Pencegahan pergerakan lanjutan
Melihat pentingnya penyatuan keluarga bagi pengungsi Rohingya, UNHCR terus mengupayakan jalan yang sesuai jalur hukum untuk mempersatukan mereka yang terpisah dari keluarga.
Hal ini berarti negara - negara tempat mereka berada perlu menciptakan peraturan dan jalur yang sesuai hukum, dan hal ini mungkin memakan waktu yang lama.
Sementara itu, UNHCR sebagai organisasi kemanusiaan, bersama – sama dengan pihak otoritas dan mitra kerja di lapangan, pihaknya terus berusaha meningkatkan kesadaran para pengungsi akan resiko dari aktivitas penyelundupan/ perdagangan manusia.
“Hal ini kami lakukan melalui berbagai kegiatan Focus Group Discussion (FGD) dan konselling rutin yang kami berikan bagi para pengungsi di BLK Kandang,” sebut Mitra.
Komentar